Realestate 2022

Perkembangan Realestate 2022

Sektor perumahan melibatkan banyak pelaku ekonomi. Mulai dari pengembang (developer), kontraktor, pekerja konstruksi, investor (homeowner), penyewa (renter), dan lembaga keuangan. Pengaruh sektor perumahan bagi perekonomian juga relatif besar. Dampak multiplier (multiplier effect) yang timbul dari kegiatan di sektor perumahan sangat beragam. Banyak kegiatan ekonomi yang tumbuh seiring dengan pertumbuhan sektor perumahan, mulai dari penyediaan bahan baku hingga industri besi baja. Itulah kenapa di banyak negara, otoritasnya memberikan perhatian besar terhadap setiap perkembangan di sektor perumahan.

Tahun 2021 ini, sektor properti dapat disebut baru mulai pulih. Karena baru pulih, maka pertumbuhannya pun masih sangat terbatas. Hal itu terlihat dari kinerja pertumbuhan sektor ekonomi yang terkait dengan properti. Selama 9 bulan pertama 2021, sektor real estate dan konstruksi baru tumbuh masing-masing 2,40% (year on year/yoy) dan 2,43% (yoy). Pertumbuhan yang masih sangat terbatas tersebut karena memang konsumsi masyarakat belum pulih. Ini terlihat, selama 9 bulan pertama tahun 2021, konsumsi rumah tangga (RT) baru tumbuh 1,50% (yoy) (lihat Grafik 1).

 

Salah satu faktor yang turut mendukung pertumbuhan sektor properti tersebut adalah sokongan dari pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Sebagaimana kita ketahui, sejak Maret 2021, pemerintah memberlakukan insentif berupa Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) terhadap setiap pembelian rumah tapak atau unit hunian rumah susun dengan harga jual paling tinggi Rp5 miliar. Ketentuan insentif PPN DTP tersebut adalah (i) sebesar 100% dari PPN yang terutang atas penyerahan rumah tapak atau unit hunian rumah susun dengan harga jual paling tinggi Rp2miliar, (ii) sebesar 50% dari PPN yang terutang atas penyerahan rumah tapak atau unit hunian rumah susun dengan harga jual di atas Rp2-5 miliar. Insentif PPN DTP tersebut diberikan maksimal satu unit properti per satu orang dan tidak boleh dijual kembali dalam jangka waktu satu tahun.

Bersamaan dengan keluarnya insentif PPN DTP, BI juga menerbitkan insentif berupa pelonggaran rasio Loan To Value (LTV) untuk Kredit Properti dan rasio Financing to Value (FTV) untuk Pembiayaan Properti. Melalui kebijakan pelonggaran LTV/FTV tersebut maka rasio LTV/FTV bagi kredit/pembiayaan properti menjadi paling tinggi 100% untuk semua jenis properti (rumah tapak, rumah susun, serta ruko/rukan), bagi bank yang memenuhi kriteria non-performing loan (NPL)/non performing financing (NPF) tertentu. Selain itu, BI juga menghapus ketentuan pencairan bertahap properti inden untuk mendorong pertumbuhan kredit/pembiayaan di sektor properti.

“Scarring Effect” di Sektor Properti

Kinerja sektor properti kita selama dua tahun terakhir sangat terdampak oleh pandemi Covid-19. Seiring dengan aktivitas perekonomian yang “lumpuh”, terutama di 2020, kinerja sektor properti juga turut “lumpuh”. Tidak hanya secara sektoral, kinerja korporasi juga terdampak yang ditandainya dengan menurunnya sejumlah indikator keuangan korporasi. Secara korporasi, hal ini terlihat dari indikator keuangan seperti rasio solvabilitas, rasio likuiditas, rasio turn over dan rasio profitabilitas yang mengalami pelemahan. Di tahun 2021 ini, korporasi di sektor properti mengalami luka memar (scarring effect) yang perlu dipulihkan sebagai dampak dari “lumpuhnya” aktivitas usaha selama tahun 2020.

Sumber OutLook Property

Tinggalkan komentar

Bandingkan daftar

Membandingkan